Penulis dipusara eyang Soetardjo di Astana Bibis Luhur, solo, jawa tengah. (2012)
Pada 1913, Soetardjo mendapatkan kenaikan pangkat sebagai Assisten Wedono onderdistrik Bogorejo di daerah Blora. Pada saat itulah sang Ibu menyatakan bahwa untuk dapat memimpin rakyat dengan baik, Soetardjo harus didampingi oleh istri. Sesuai dengan tradisi jawa saat itu, yang berperan mencarikan calon istri adalah orang tua Soetardjo. Akhirnya, Soetardjo menikah dengan putri Wedono Binangun, Siti Djaetoen Kamarroekmini yang lahir pada 29-6-1900 di Baoreno,bojonegoro, pada usia 22 tahun.
Setelah kematian istrinya pada 26-8-1947, Soetardjo menikah dengan B.R.A. Siti Surat Kabirun pada 2 Mei 1948 dan pindah ke Yogyakarta. Sang istri kemudian wafat pada 18-8-1958
Pada 15 November 1948 diangkat sebagai Ketua DPA hingga 1950. Selain jabatan-jabatan tersebut, Soetardjo juga menjabat sebagai;
- Anggota DPRS (1950-1956)
- Ketua Panitia Gaji Pegawai Negeri (1951-1955).
- Komisaris Negara Urusan Otonomi Daerah (1954-1956).
- Gubernur diperbantukan pada Menteri Dalam Negeri (1956-1958).
- Wakil Ketua Dewan Kurator Universitas Gadjah Mada (1948-1967).- Dosen luar biasa Universitas Padjadjaran (1956-1959).
- Dosen luar biasa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung (1964-1967).
- Ketua Palang Merah Indonesia kedua (1946-1948),
- Ketua Dewan Presidium Persatuan Pensiun Republik Indonesia (1961-1965) .
- Wakil Ketua Pimpinan Pusat Partai Persatuan Indonesia Raya (1950-1956).
Pada tahun 1934, bersamaan dengan ditetapkannya Undang-Undang Radio oleh pemerintah Hindia Belanda, didirikanlah NIROM ( Nederlandsc Indische Radio Omred ) di kota Jakarta, Bandung dan Medan. Pada saat itu NIROM dinilai sebagai radio siaran terbesar dan terlengkap peralatannya.
Pada tanggal 29 Maret 1937, di Bandung diselenggarakan pertemuan antara wakil Radio Siaran Ketimoeran yang dikelola oleh pribumi bangsa Indonesia. Pertemuan itu terselenggara atas usaha anggota Volksraad, Mr. Soetardjo Kartohadikusumo dan Ir. Sarsito Mangunkusumo. Dalam pertemuan sehari tersebut, hadir utusan dari Batavia, Solo, Yogyakarta, Surabaya dan Bandung sendiri, dan menghasilkan kesepakatan untuk mendirikan Perserikatan Perkumpulan Radio Ketimoeran ( PPRK ) yang berkedudukan di Batavia dengan ketuanya yaitu Soetardjo Kartohadikusumo. PPRK yang bertujuan memajukan kesenian dan kebudayaan pribumi ini oleh pemerintah Hindia Belanda baru disyahkan berdirinya pada tahun 1938, sementara pengaturan rencana dan penyelenggaraan Siaran Radio Ketimoeran dari NIROM diserahkan kepada PPRK, namun urusan teknis masih tetap diatur oleh NIROM.
Pada tanggal 14 agustus 1945 salah satu stasiun radio di Inggris ( BBC ) memberitahukan pernyataan menyerahnya Jepang kepada sekutu. Siarannya terpantau oleh pemuda dan rakyat di Bandung. Mereka bangkit bersatu-padu, bahu-membahu merebut radio siaran Jepang dan dijadikan sebagai alat perjuangan bangsa Indonesia. Pada saat-saat terakhir pendudukan Jepang di Indonesia, tersebar desas-desus bahwa Indonesia akan memproklamasikan diri sebagai negara merdeka. Kemudian, para pemuda radio Bandung membentuk badan kerjasama dengan mereka yang bekerja di SENDENDU (Jawatan Penerangan), termasuk Surat Kabar Tjahaja, Domei dan Radio. Badan kerjasama itu disebut SENDORA. Organisasi inilah yang secara matang merencanakan perebutan dan pengambilalihan Bandung Hoso Kyoku dari Jepang. Guna mendukung rencana tersebut, segera dibentuk suatu organisasi penyiarannya dan secara musyawarah disetujui oleh Sam Kawengkeh sebagai Pimpinan Umum, R.A Darja sebagai Pimpinan Siaran, R. Herman Gandasomantri sebagai Pimpinan Tata Usaha dan Bambang Sumiskun sebagai Pimpinan Teknik. Organisasi ini pula yang bertugas meningkatkan kontak dengan para pejuang radio di Jakarta guna mempersiapkan Call Sign, Tune Pembukaan, dan lain-lain yang berkaitan dengan radio siaran.
SENDORA berhasil dibentuk berkat anjuran dan bimbingan dari tokoh politik Otto Iskandardinata yang kebetulan sebulan sekali mengisi acara dan berpidato di Bandung Hoso Kyoku. Beliau pulalah yang selalu membina semangat juang para pemuda yang bekerja di bidang komunikasi, sekaligus selalu memberikan informasi mengenai situasi politik dalam dan luar negeri.
Terhitung mulai tanggal 11 Agustus 1945, penguasa Jepang memerintahkan agar seluruh radio siaran menghentikan siarannya pada tanggal 15 Agustus 1945. Selama masa persiapan, para pimpinan SENDORA meningkatkan hubungan komunikasi dengan para pejuang radio di Jakarta terutama dalam kaitan dengan rencana penyiaran Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Dari kontak-kontak tersebut diperoleh informasi bahwa Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia akan disampaikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 dari halaman gedung di jalan Pegangsaan Timur no 56 Jakarta. Rencana penyiaran peristiwa bersejarah itu akan dilakukan oleh para pejuang radio melalui radio siaran bekas Hoso Kyoku di Jakarta dan akan direlay oleh Bandung Hoso Kyoku yang berlokasi melalui saluran modulasi PTT. Namun sampai dengan tanggal 16 Agustus 1945 terjadi peristiwa heroik yang dilakukan oleh para pemuda pejuang radio di Bandung dengan merebut dan mengambil alih studio dan pemancar Radio Bandung Hoso Kyoku dari tangan Jepang.
Akhirnya, para pejuang radio di Jakarta memutuskan agar tugas penyiaran Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia diambil alih oleh Radio Bandung melalui saluran modulasi PTT dari jalan Pegangsaan Timur no 56 Jakarta. Untuk itu, pimpinan Radio Bandung menugaskan dua orang teknisinya ke Jakarta lengkap dengan peralatannya guna mempersiapkan rencana tersebut. Namun pada saatnya, tanggal 17 Agustus 1945 rencana tersebut tidak bisa terlaksana juga, sebab tentara Jepang memutuskan line modulasi PTT dari Pegangsaan Timur ke Radio Bandung. Atas musyawarah dan permintaan para pejuang radio di Bandung, akhirnya rekan-rekan pejuang radio di Jakarta bersepakat untuk mengirimkan naskah proklamasi tersebut ke Bandung untuk disiarkan. Pada saat kurir membawa naskah proklamasi ke Bandung, ternyata di Jakarta pada sore harinya berhasil menyiarkan Teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tersebut tetapi melalui pemancar kecil berkekuatan satu kilowatt.
“ DI SINI BANDUNG, SIARAN RADIO REPUBLIK INDONESIA “
Melalui seorang kurir, naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia baru tiba di Bandung pada pukul lima sore. Tepat pukul 19.00 waktu Jawa, tanggal 17 Agustus 1945 untuk pertama kalinya para pemuda radio di Bandung, melaksanakan sendiri penyelenggaraan siaran radio. Dengan tekad keberanian bercampur rasa bangga dan harus, tetapi juga disertai rasa cemas, para pemuda radio Bandung melakukan babak baru dari suatu peristiwa penting.
Saat ini stasiun RRI memiliki 52 stasiun penyiaran dan penyiaran khusus yang ditujukan ke luar negeri. Hampir di seluruh daerah, RRI menyelenggarakan siaran yang dikemas ke dalam tiga program acara yaitu Program Kota ( Pro II ) yang melayani masyarakat perkotaan dan Program III ( Pro III ) yang menyajikan berita dan informasi ( News Channel ) kepada masyarakat luas. Dengan begitu, RRI sebagai industri penyiaran memiliki kesempatan yang sama dengan industri penyiaran lainnya dalam mengapresiasikan ide, kreativitas dan kekuatan untuk memberikan yang terbaik bagi publik.
Pada masa akhir kekuasaan Jepang, dibentuk BPUPK yang kemudian dilanjutkan dengan PPKI dimana Soetardjo menjadi salah seorang anggotanya. Soetardjo juga menjadi anggota tim kecil perumus Pembukaan UUD sebelum kemudian diubah oleh Soekarno menjadi Tim Sembilan. Bahkan, sebagai penguasa daerah Jakarta Soetardjo terlibat mulai dari peristiwa Rengasdengklok, secara kebetulan pada 16 Agustus 1945 Soetardjo sedang melakukan pemeriksaan penggilingan dan lumbung padi di Rengasdengklok bersama Bupati Purwakarta, hingga penyusunan teks proklamasi di rumah Laksamana Maeda.
Pada 17 Agustus 1945, Soetardjo menghadiri upacara pembacaan proklamasi. Proklamasi tersebut kemudian diberitahukan kepada pemerintah militer Jepang. Untuk melakukan hal tersebut Soetardjo ditunjuk sebagai utusan dengan didampingi oleh Mr. Kasman Singodimedjo.
Pada 27 Agustus 1947, istri Soetardjo Kartohadikoesoemo meninggal dunia dan dimakamkan di pesarehan keluarga Mangkunegaran Bibis Luhur Solo. Pada tahun itu pula Soetardjo diangkat sebagai anggota dan Wakil Ketua DPA. Ketuanya adalah R.A.A. Wiranatakusuma. Pada saat Belanda mendirikan negara-negara bagian yang dimaksudkan sebagai negara boneka, Soetardjo ditawari menjadi Wali Negara Pasundan. Namun tawaran tersebut ditolak karena dipandang akan memecah-belah Republik Indonesia.
Setelah kematian istrinya, Soetardjo menikah dengan B.R.A. Siti Surat Kabirun pada 2 Mei 1948, dan pindah ke Yogyakarta. Sang istri kemudian wafat 18-8-1958.
Pada 15 November 1948 diangkat sebagai Ketua DPA hingga 1950. Selain jabatan tersebut, Soetardjo juga menjabat sebagai;
- Anggota DPRS (1950-1956)
- Ketua Panitia Gaji Pegawai Negeri (1951-1955).
- Komisaris Negara Urusan Otonomi Daerah (1954-1956).
- Gubernur diperbantukan pada Menteri Dalam Negeri (1956-1958).
- Wakil Ketua Dewan Kurator Universitas Gadjah Mada (1948-1967).- Dosen luar biasa Universitas Padjadjaran (1956-1959).
- Dosen luar biasa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung (1964-1967).
- Ketua Palang Merah Indonesia kedua (1946-1948),
- Ketua Dewan Presidium Persatuan Pensiun Republik Indonesia (1961-1965) .
- Wakil Ketua Pimpinan Pusat Partai Persatuan Indonesia Raya (1950-1956).
Soetardjo Kartohadikoesoemo wafat pada 22 Desember 1976 di Jl. Raden Saleh Raya No. 18 Jakarta. Soetardjo dikaruniai 12 orang putra putri, yaitu Soesatio Soedarko, Roro Setiowati Soetari, Setiadjid Soetario, Setiadi, Setioso, Roro Soesanti, Sri Soedarti, Roro Setiarti, Setiotomo, Soetedjo, Boedisatio, dan Haksomo.(xx)